Home / Article / Moralitas adalah memiliki perasaan mana yang benar atau salah
Roodebrug Surabaya memperingati korban era bersiap

Moralitas adalah memiliki perasaan mana yang benar atau salah

Surat terbuka kepada Kepala OGS ( Oorlogsgravenstichting ) di Indonesia, Robbert van de Rijdt

Pengirim : Ady Setyawan, ST. Pendiri yayasan Jembatan Merah Surabaya

Pada hari minggu 8 Oktober 2017,kami anak-anak muda Indonesia dari komunitas Roodebrug di Surabaya membuat peringatan untuk mereka yang menjadi korban era bersiap. Kami menaruh bunga pada setiap makam, masa kekerasan yang bermula sejak oktober 1945. Peringatan ini tidak hanya dihadiri generasi muda tapi juga dihadiri oleh seorang veteran berusia 90 tahun. Kegiatan ini menuai respon positif di media sosial baik dari warga Belanda maupun Indonesia.

Diskusi Facebook

Anda, Robbert van de Rijdt menulis ini pada postingan di Facebook ( diterjemahkan dari bahasa Belanda) : “Indah…ini bagaimana saya melihatnya: saling menghormati, memperingati dan berjalan kedepan. Seringkali orang yang tidak seperti ini, hanya melihat lembaran-lembaran hitam ! Mereka bisa belajar dari orang-orang ini. Di Belanda ada beberapa jurnalis yang arogan dan berfikir negatif yang berpikir perlu menilai masa lalu dengan perbandingan norma dan nilai pada masa saat ini. Mereka mencoba meyebar racun diantara orang-orang yang mengalami banyak hal bersama, orang-orang yang ingin melangkah maju dalam kedamaian. Wartawan-wartawan ini tak akan pernah berhasil, terimakasih untuk pertemuan acara semacam ini”

Lalu salah seorang kawan saya, Marjolein van Pagee seorang peneliti Belanda dan juga jurnalis membalas komentar bahwa anda pernah mengirim dia email yang isinya bertentangan dengan komentar anda.

Dalam komentarnya, Marjolein menuliskan beberapa poin yang diduga pernah anda tuliskan. Dia menjelaskan bahwa anda mengirimkan email itu padanya pada April lalu sebagai respon atas opininya yang dimuat di Surat Kabar Trouw. Dalam artikel itu Marjolein mengkritisi cara pemerintah Belanda menggambarkan perang kolonial dalam peringatan nasional 4 Mei , karena dalam peringatan itu tak pernah disebut tentang Indonesia sebagai korban.

Dengan ini saya lampirkan terjemahan dari apa yang ditulis Marjolein di facebook : “Anda sebut ini omong kosong, karena anda tidak mau memperingati “inlander”. Anda juga menertawakan orang-orang Madura yang ditembak mati karena menyerang Marinir Belanda di Pamekasan pada 1947”. Dimata anda hal ini sama halnya dengan situasi ketika polisi di Eropa yang mempertahankan diri ketika mereka diserang. Adalah hal yang wajar dan bisa dipahami bahwa marinir menembaki pejuang-pejuang Madura.

Anda juga menulis betapa bangganya anda pada sejarah kolonialisme Belanda berikut pencapaian-pencapaian Belanda pada abad-abad tersebut. Anda mengeluhkan kondisi Indonesia saat ini yang kacau, kota yang kotor dan kemiskinan rakyat akibat korupsi.

Anda tampaknya juga meyakini bahwa orang Indonesia ingin kembali pada masa tempo dulu-nya Belanda. Rakyat Indonesia bersyukur atas jalanan, infrastruktur dan lain sebagainya.

Anda juga menyampaikan kebencian terhadap muslim Indonesia yang anda takutkan akan merubah negara ini menjadi negara Islam.

Menariknya dalam diskusi tersebut, anda sama sekali tidak menyangkal bahwa anda benar-benar pernah menulis kata-kata tersebut. Kata anda itu hanya pendapat pribadi. Sejujurnya saya tidak ada masalah dengan orang yang memiliki perbedaan pandangan selama saling menghargai. Tapi dalam kasus ini, saya ingin tahu , apakah anda sebagai seorang direktur Belanda yang tinggal di Indonesia benar-benar berpikir demikian. Di facebook saya menanyakan hal tersebut dan anda membalas : “Jika kau ingin tahu pendapat seorang Robbert van de Rijdt, datang ke kantor saya atau tunggu sampai saya mengunjungi Surabaya!”

Setelah itu makin bertambah orang yang turut berdiskusi di postingan facebook oleh Boy Marlisa, nada semakin meninggi. Menyedihkan ketika diskusi terbelah menjadi kelompok pro dan kontra padahal tujuan kegiatan adalah untuk lebih meningkatkan saling pengertian antara Indonesia dengan Belanda.

Dari argumen-argumen keras di facebook saya menyadari bahwa kita belum mencapai tahapan saling memahami. Beberapa orang membela anda, sebagian mengkritisi fakta bahwa Marjolein menulis itu dari bagian sebuah percakapan pribadi, yang menurut mereka lebih tidap pantas dibandingkan pendapat anda. Anda menyatakan bahwa email itu pendapat pribadi anda yang berbeda dengan pendapat anda sebagai direktur dari OGS.

( Catatan : Diskusi di dinding facebook Boy Marlisa telah dihapus. Saya masih menyimpan screenshot )

Pertanyaan

Yang terhormat Tuan Robbert van de Rijdt, seandainya betul itu adalah opini pribadi anda. Saya ada beberapa pertanyaan penting untuk anda

– Ketika pendapat ini adalah cara pandang anda dalam melihat sejarah kolonialisme di Indonesia, bagaimana anda bisa berbicara tentang “saling menghargai”? Dari kesan yang saya dapat, saya tidak tahu apa artinya saling menghargai dimata anda.

– Pernahkah anda berpikir kenapa orang-orang Madura pada 1947 menyerang Marinir Belanda yang bersnjata lengkap sedangkan mereka hanya bersenjatakan tradisional seperti bambu runcing dan pisau ? Anda harusnya memahami bahwa orang-orang itu siap berkorban nyawa demi kemerdekaan Indonesia dan karena para inlander ini menolak untuk membungkuk pada aturan kolonial Belanda. Ada banyak serangan serupa dan pertempuran yang terjadi di seluruh negeri saya. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Bagaimana saya tidak terpukul ketika mendengar bahwa anda menertawakan mereka?

-Apakah anda sungguh bangga pada sistem kolonialisme yang dibawa pendahulu anda pada bangsa saya ?

-Anda pikir siapa yang paling diuntungkan atas semua pembangunan pabrik, perkebunan, industri, jalanan dan kereta api?

-Apa anda pikir semua ini demi kemakmuran pada rakyat bangsa kami yang dipanggi “inlander” pada masa itu?

-Apa anda sungguh-sungguh percaya bahwa kebanyakan orang Indonesia saat ini ingin kembali pada masa indah tempo dulu versi anda ?
Apa anda mengira kami merindukan masa dimana bangsa kami dipaksa untuk menanam kopi, teh dan semua kebutuhan dasar untuk memperkaya bangsa anda?

-Apakah anda sungguh mempercayai bahwa kami ingin kembali pada situasi dimana sebagian besar dari bangsa kami tidak mendapat kesempatan bersekolah? Masa dimana tentara Belanda memenggali kepala para pejuang kami, menancapkan kepalanya pada tiang-tiang bambu untuk dipertontonkan di keramaian pasar di Enrekang ?

Tuan Yang terhormat, bagi saya pandangan anda terhadap sejarah kolonialisme adalah cacat dan sangat sepihak. Saya mendapat kesan bahwa anda tidak tahu berapa banyak kehilangan dipihak bangsa saya selama berabad-abad sejak pembantaian rakyat Banda hingga agresi militer yang ditulis secara halus dalam buku sejarah anda dengan sebutan “aksi polisionil”.

Anda memandang rendah penganut Muslim?

Perlu anda ingat bahwa sebagian kawan saya dan saya sendiri adalah muslim. Kami berlutut , mendoakan dan menaruh bunga pada makam-makam dimana anda adalah Direkturnya. Kami lakukan itu untuk melakukan penghormatan kepada orang-orang Belanda yang belum pernah kami temui sebelumnya, bukan kawan ataupun sanak saudara. Kami lakukan apa yang kami lakukan karena merasa saling menghormati dan saling memahami bagi kedua bangsa adalah hal yang diperlukan dalam melangkah kedepan. Kami menghormati makam-makam dimana anda menjadi penjaganya.

Inilah yang mengejutkan saya ketika mendengar pandangan pribadi anda yang anda gambarkan dalam email kepada Marjolein. Karena itu saya meminta klarifikasi kepada publik dari anda. Selaku Direktur dari OGS.

Anda jelaskan bahwa pandangan positif anda terhadap penjajahan adalah pendapat pribadi yang tidak akan anda tunjukkan selaku seorang Direktur. Tapi apakah pendapat pribadi Tuan benar-benar terpisah dengan pekerjaan selaku Direktur ? Wajah mana yang akan anda bawa ketika nanti kita berhadapan muka secara langsung? Saya meyakini bahwa moralitas adalah memiliki perasaan mana yang benar atau mana yang salah. Saya juga meyakini bahwa hal ini adalah sesuatu yang universal. Saya harap anda memahami maksud saya.

Dalam forum diskusi tersebut, orang-orang mulai menyerang Marjolein karena mengungkapkan pendapat anda yang sebenarnya. Seandainya benar anda menulis kepada dia, pertanyaannya adalah adakah dia yang patut dipersalahkan. Coba bayangkan seandainya saya menyampaikan pada anda ( dalam percakapan pribadi ) bahwa Belanda dan Indo yang terbunuh dalam masa bersiap membuat saya tertawa dan menurut saya mereka tak layak untuk dikenang. Sementara didepan publik saya bicara tentang saling menghormati dan menaruh bunga di Kembang Kuning. Apakah anda akan tetap diam? Anda pikir masyarakat Belanda akan marah kepada siapa? Pada anda karena menyampaikan sebuah kemunafikan atau pada saya karena mengatakan hal semacam itu ?

Setiap orang berbuat kesalahan

Tuan Robbert van de Rijdt yang terhormat, setiap orang membuat kesalahan dan setiap orang mampu mengakui kesalahan mereka dan belajar dar itu. Pengetahuan anda tentang apa yang terjadi pada masa kolonialisme sangat sepihak dan saya rasa ini akan jadi masalah jika dimiliki oleh perwakilan Belanda yang hidup dan bekerja di Indonesia.

Kenyataan kolonialisme dan pola pikir sebagai pemicu kekerasan

Dari apa yang saya lihat dan saya dengar, saya mendapat gambaran bahwa anda bukanlah satu-satunya orang Belanda yang berpikir seperti demikian. Saya memiliki perasaan yang sama ketika membaca tentang penelitian Belanda pada perang kemerdekaan ( 1945-1949). Tampaknya mereka akan menaruh perhatian besar pada kekerasan yang dilakukan kedua belah pihak, termasuk konteks politis, datil teknis, perang dekolonialisasi dan sebagainya. Tapi meninggalkan issu utama disini : kenyataan terjadinya kolonialisme/penjajahan dan pola pikir sebagai pemicu meningkatnya kasus kekerasan. Maksud saya adalah ketika Belanda ingin sungguh-sungguh membuat jembatan dengan Indonesia, meningkatkan saling menghormati dan pengertian, masih ada hambatan-hambatan yang akan menghampiri dan harus diselesaikan. Nampaknya kita masih belum mencapai titik ini , karena itu diskusi yang serius perlu dihadirkan.

Untuk klarifikasi lebih lanjut saya bertanya :

  1. Bisakah anda mengkonfirmasi apa yang anda tulis dalam email-email itu dan bersediakah anda meminta maaf dan menarik kembali perkataan anda?
  2. Dapatkah anda menjelaskan pandangan moral anda terkait masa kolonial ? Dapatkah anda menjelaskan dalam hal benar atau salah bagaimana kita seharusnya mengenang bagian sejarah ini?
  3. Dapatkah anda menjelaskan bagaimana anda melihat saling menghormati dan saling memahami? Anda telah melihat bagaimana kami berlutut didepan makam, korban dari pihak kami. Apakah anda berpikir bahwa saling memahami adalah hanya satu arah, hanya bersuka ketika sisi lain berlutut untuk korban dipihak anda?
  4. Apakah anda siap melakukan hal yang sama ?Bisakah kita saling mengunjungi makam bersama, berlutut bersama dan berdampingan menaruh bunga? Ini akan menjadi catatan sejarah baru dalam hal yang positif.

Kami tidak membutuhkan kemunafikan politis.

Sekali lagi adalah hal yang sangat penting untuk menunjukkan wajah asli anda daripada wajah jabatan. Saling menghormati dan saling menghargai tidak akan pernah tercapai ketika pada pendahulu saya masih dipandang “inlander” oleh anda. Dalam pendapat saya, “ketulusan” adalah kunci untuk meraih ini. Keingintahuan yang tulus atas pengalaman dari pihak lain adalah langkah awal. Hanya dengan demikian kita dapat melangkah maju kedepan.

Saya berjanji, ketika anda terbuka untuk 4 hal diatas. Saya akan menuju Roermond dan menaruh bunga disana untuk lebih dari 5000 nyawa pemuda yang harus melayang atas nama kerakusan, penjajahan dan imperialisme. Anda bisa pegang kata-kata saya.

Hormat saya,

Ady Setyawan
Surabaya, 15 Oktober 2017

English Version

English Version

About Ady Setyawan

Ady Setyawan, penulis dan penghobi sejarah terutama era perang kemerdekaan. Buku yang pernah diterbitkan berjudul : Benteng Benteng Surabaya ( 2015) , Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? ( 2018 ) dan Kronik Pertempuran Surabaya ( 2020 )

Check Also

Insiden Kekerasan Imlek di Surabaya Tahun 1912

Tahukah anda bahwa perayaan Imlek tahun 1912 di Surabaya berubah menjadi sebuah panggung pertikaian sengit …